Rabu, 13 Maret 2013

Ban Bocor Biasa, Penambalnya Luar Biasa


Kamis, 7 Maret 2013 tentunya menjadi hari yang akan kulupakan suatu saat nanti. Hari ini dimulai dengan hal yang tidak menyenangkan. Tidak baik memang  mengingat hal yang buruk karena hanya akan membusukkan pikiran. Ya, hari ini pasti akan kulupakan. Maka sebelum kulupakan ada baiknya kuabadikan dalam tulisan. Muahaha~

Hujan deras, deras sekali, tidak datang sekali-sekali. Hujan seperti itu bukan hanya hari ini. Sejak kemarin dan kemarin kemarinnya lagi, awan gelap dan benang-benang basah selalu jadi ornemen hari. Cucian kering tinggal harapan. Tidak ada mesin cuci dengan pengering, tidak ada ruang tempat jemur darurat. Stok pekaian bersihku kritis, sedangkan pakaian kotor tidak sampai menggunung sih, tapi lumayan menggunduk.

Kalau dibawa ke binatu tentu pakaian akan segera bersih dan wangi, tapi sayang uangnya. Kalau dibawa pulang untuk dicuci di rumah juga akan bersih dan wangi tapi, tidak pakai tapi. Saya bukan ingin menceritakan bagaimana nasib pakaian saya karena seandainya demikian tentu judulnya pakaian kotor, dan bukan ban bocor.

Ada apa dengan ban bocor? Ban motor saya bocor sudah beberapa hari, jadi niat untuk pulang dan mencuci di rumah tertunda. Sebenarnya bisa ditambal dari kemarin tapi saya tidak kuat mendorong motor ke tukang tambal seorang diri. Kemarin juga sudah meminta tolong ke teman seposko KKN yang laki-laki— kalau mereka bisa disebut laki-laki sih. Oh, bukan. Saya juga bukannya ingin mengeluhkan teman seposko, yang laki-laki itu, yang tidak bisa diandalkan untuk melakukan pekerjaan beraroma lelaki seperti mendorong motor dengan alasan sibuk rapat sebagai panitia. Wow, panitia yang  luar biasa! Rapat selama 48 jam dalam 2 hari.

Saya yang paham betul bahwa tidak mungkin motorku membawa dirinya sendiri ke bengkel untuk diperbaiki – pemahaman saya tentang tidak semua benda bisa bergerak dan membereskan dirinya sendiri sepertinya tidak dimiliki oleh teman seposko, yang laki-laki itu, yang datang saat makanan siap dan pulang setelah menghabiskannya. Mungkin mereka berpikir bahan makanan mentah itu memotong dan memasak sendiri, serta panci dan piring-piring kotor bekas makan mereka bisa mencuci dirinya sendiri –akhirnya menuntun itu motor sampai ke bengkel terdekat. *ish, jadi rada-rada emosi curhat begini saking terlukanya gak dibantuin. hhahaha*

Bengkel terdekat ternyata memang dekat lho. Hanya ±20 meter dari rumah. Alhamdulillah bisa segera beres, pikirku, sampai kutemukan seorang tua renta yang tidak mengerti bahasa Indonesia di depan bengkel itu. Saya tidak mengerti bahasa Makassar yang diucapkan berbisik dan bergetar olehnya. Kode tangan melambai dan suara samar yang terdengar seperti “a’lampai” dari mulut si bapak membuat saya mengerti bahwa yang punya bengkel sedang pergi. Selanjutnya kode tangan diangkat dan menunjuk ke arah kanan serta kata “anjoreng ko”, membuat saya melenguh nafas panjang lalu menuntun motor pergi ke arah tangannya menunjuk.

             Saya lanjut menuntut motor ke bengkel terdekat yang lumayan jauh. Karena berat dan lelah, kukendarai saja motor dengan ban belakang yang bocor itu. Setelah menempuh jarak ±200 meter, saya menemukan gubuk di tepi jalan. Bentuknya persegi tanpa dinding, pancang-pancang bambu di beberapa sisi, dan beratap daun rumbia. Kulihat bensin literan dalam botol bersusun di depannya jadi kukira tempat itu adalah bengkel. Saya pun menghentikan motor di sana.

              Lagi-lagi yang kutemukan seorang renta yang duduk di bale-bale di balik meja. Tempat ini lebih mirip ga’de-ga’de (warung) dengan kue dalam kotak dan dan beberapa macam kopi sachet, susu, kacang goreng, dan kerupuk udang yang tergantung di atas meja. Ragu-ragu kukatakan ban saya bocor dan perlu ditambal. Hal baiknya adalah, kakek itu bisa sedikit berbahasa Indonesia.
“Bisa ditambal, tapi orangnya belum datang,” seperti itulah kira-kira yang dia katakan, namun dalam bahasa daerah Makassar. “Tapi di sana ada bengkel, ke sana saja,” lanjutnya sambil menunjuk ke arah kiri.
“Saya sudah dari sana, terus disuruh ke sini. Kira-kira datangnya jam berapa, Pak? Masih lama? Saya tunggu saja di sini.”
“Lama. Kalau begitu tunggu mki di sini. Tolong jaga ki dulu, kalau ada yang mau beli bensin harganya lima ribu/botol,” kata pak tua berkopiah, berbaju batik dengan sarung yang digulung sampai lutut itu. Sebelum kuiyakan, dia sudah mendorong sepedanya ke tepi jalan. Kuamati dia mengayuh sepeda sampai tidak bisa kulihat lagi. Entah ke mana dia. 

                Belum sampai setengah jam, pak tua datang. Selama dia pergi tidak ada orang yang membeli bensin. Dia datang dengan alat press ban dalam yang diikat di boncengan sepedanya. Ya ampun, ternyata dia pergi minjam alat press ban supaya dia bisa menambal ban motor saya. Awalnya  saya sangsi dengan kemampuannya waktu lihat tangannya yang bergetar halus karena pengaruh usia. Saat mencungkil ban luar motor jelas sekali dia kepayahan, tapi dia berhasil. Selanjutnya dia menambal ban seperti profesional. 

Kejutannya ada di akhir. Selesai menambal dan mengembalikan ban ke posisi semula, waktunya untuk mengisi angin ke ban. Sejak awal saya tidak melihat mesin compressor untuk memompa ban di tempat itu. Jadi, apakah dia akan menggunakan tenaga supranatural untuk mengembangkan ban? Oh, ternyata dia menggunankan pompa manual! Iya, tabung panjang dengan tuas yang diberi per buat ditekan-tekan itu, yang ada selang karet pendek di bawahya, pompa manual. 

Luar biasa kakek itu. Bersusah-susah demi menambal ban bocor. Saya siap kalau ongkosnya 20 ribu. Tapi saat kutanya berapa biayanya,
“Lima ribu,” jawabnya.
            “Iye’? Berapa Pak?” tanya saya sekali lagi, tidak yakin dengan pendengaranku.
           “Lima ribu,” ulangnya lagi sambil membuka telapak tangan ke depan dan menunjukkan kelima jarinya.

Arrghh, keren sekali kakek ini. Mengerjakan dengan baik yang bukan pekerjaannya, tidak mengincar keuntungan dari kesusahan orang, and it’s touching me. Nilai-nilai dan kebaikan sering ada di tempat tak terduga. Kali ini ada di gubuk atap rumbia di tepi jalan depan persawahan. Mungkin nanti kutemukan di rumah hartawan, atau bisa jadi di pinggir selokan.

2 komentar:

  1. hiks saya jadi ngefans sama tu kakek-kakek huhuhu terharu... >,</

    BalasHapus
  2. Tadi lewat situ, kakek2nya nda ada. Cuma bapak2 yg gayanya mirip si kakek. Bedanya cuma si kakek pake sarung, si bapak pake celana 3/4.

    BalasHapus