Kamis, 27 Desember 2012

Catatan Seekor Ayah Gagak-2


Tanggal O, bulan X

                Ibu di keluarga yang tinggal di lantai 3 gedung nomor 29 sepertinya memberi makan dengan cukup baik. Pertumbuhan anak-anaknya pun cukup bagus. Tapi aku menghawatirkan sifat rakus anak lelakinya, si anak bungsu. Ia suka meminta makanan temannya. Aku akan sedikit membantunya. Kuletakkan cacing, kulit apel, biji manggis, dan kulit tiram di beranda kamar anak itu. Dia pasti senang mendapat makanan sebanyak itu.
                Aku kembali ke sarang. Aku kaget mendengar pernyataan istriku. Bukan, dia bukan ingin meninggalkanku, melainkan anak-anak kami. “Tak lama lagi anak-anak kita akan bisa mencari makan sendiri”. “Tak usah, aku masih bisa mencarikan mereka makanan kok”. “Tapi memanjakan anak seperti itu bukan sayang namanya”,  tutupnya. Cih! Ini memang kejadian tahunan, tapi apa istriku paham kalau kemandirian anak-anak sama artinya dengan berpisah dengan anak-anak? Kenapa tiap tahun kami harus merasakan apa yang hanya beberapa kali manusia rasakan dalam hidupnya?
                Hari ini pun aku menjatuhkan cacing pada si anak bungsu dari keluarga yang tinggal di lantai 3 gedung nomor 29. Ia terlihat meneriakkan sesuatu sambil mengangkat tangan terkepal. Aah, padahal dia tak usah berterima kasih, yang penting dia tumbuh besar. Aku terbang di atas rumah si anjing bodoh. Hari ini dia dan anaknya diikat di halaman. Beda denganku dan manusia, si anjing bodoh dan anaknya tinggal memakan mekanan yang disiapkan manusia. Enak sekali dia. Eh, tapi si anjing bodoh memberikan sebagian makanan kepada anaknya yang makanannya sudah duluan habis. Ternyata walaupun bodoh, dia tetap orang tua.
Tanggal X, bulan X
Aah! Ayah si anak rakus sudah pulang. Dia jarang pulang dan sekarang berlaku sebagai ayah. Aku harus kembali ke sarang mengantar makanan untuk anak-anakku dulu. Tapi lho? Anak-anak ke mana? “Barusan meninggalkan sarang. Tiap tahun seperti ini kan?” kata istriku. Mereka pergi tanpa mengucapkan salam apa-apa? Mudah sekali. Beda dengan manusia, buat kami komunikasi antara  orang tua dan anak hanyalah saat memberi makan.


Kalau  manusia butuh waktu 20 tahun untuk membesarkan anak, kami hanya butuh waktu setengah tahun. Meskipun demikian bukan berarti hubungan orang tua dan anak antara kami kental. Aku ingin punya waktu lebih banyak. Anak yang kubesarkan dengan susah payah pergi dengan mudahnya. Sedangkan ayah si anak rakus meskipun pulang beeberapa bulan sekali tetap punya hubungan erat dengan anaknya.  Jangan-jangan itu hal yang biasa di dunia manusia? Manusia punya waktu 20 tahun untuk membesarkan seorang anak. Mungkin dia mencari makanan yang luar biasa hingga butuh waktu bertahun-tahun. Kalau dilihat dari sudut pandang kami yang bersusah payah membesarkan anak, mereka terlihat begitu santai. Aku tidak bisa memaafkan ayah dan anak itu. Akan  kujatuhkan  batu di atas kepalanya. Tapi aku masih bersimpati jadi tidak kujatuhkan batu pada anak-anak.

Oda Tobira (Tomo'o- Harus Makan Banyak)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar