Kamis, 7 Maret
2013 tentunya menjadi hari yang akan kulupakan suatu saat nanti. Hari ini
dimulai dengan hal yang tidak menyenangkan. Tidak baik memang mengingat hal yang buruk karena hanya akan
membusukkan pikiran. Ya, hari ini pasti akan kulupakan. Maka sebelum kulupakan
ada baiknya kuabadikan dalam tulisan. Muahaha~
Hujan deras,
deras sekali, tidak datang sekali-sekali. Hujan seperti itu bukan hanya hari
ini. Sejak kemarin dan kemarin kemarinnya lagi, awan gelap dan benang-benang
basah selalu jadi ornemen hari. Cucian kering tinggal harapan. Tidak ada mesin
cuci dengan pengering, tidak ada ruang tempat jemur darurat. Stok pekaian
bersihku kritis, sedangkan pakaian kotor tidak sampai menggunung sih, tapi
lumayan menggunduk.
Kalau dibawa ke
binatu tentu pakaian akan segera bersih dan wangi, tapi sayang uangnya. Kalau
dibawa pulang untuk dicuci di rumah juga akan bersih dan wangi tapi, tidak
pakai tapi. Saya bukan ingin menceritakan bagaimana nasib pakaian saya karena
seandainya demikian tentu judulnya pakaian kotor, dan bukan ban bocor.
Ada apa dengan
ban bocor? Ban motor saya bocor sudah beberapa hari, jadi niat untuk pulang dan
mencuci di rumah tertunda. Sebenarnya bisa ditambal dari kemarin tapi saya
tidak kuat mendorong motor ke tukang tambal seorang diri. Kemarin juga sudah
meminta tolong ke teman seposko KKN yang laki-laki— kalau mereka bisa disebut
laki-laki sih. Oh, bukan. Saya juga bukannya ingin mengeluhkan teman seposko,
yang laki-laki itu, yang tidak bisa diandalkan untuk melakukan pekerjaan
beraroma lelaki seperti mendorong motor dengan alasan sibuk rapat sebagai
panitia. Wow, panitia yang luar biasa!
Rapat selama 48 jam dalam 2 hari.
Saya yang paham
betul bahwa tidak mungkin motorku membawa dirinya sendiri ke bengkel untuk
diperbaiki – pemahaman saya tentang tidak semua benda bisa bergerak dan
membereskan dirinya sendiri sepertinya tidak dimiliki oleh teman seposko, yang
laki-laki itu, yang datang saat makanan siap dan pulang setelah
menghabiskannya. Mungkin mereka berpikir bahan makanan mentah itu memotong dan
memasak sendiri, serta panci dan piring-piring kotor bekas makan mereka bisa
mencuci dirinya sendiri –akhirnya menuntun itu motor sampai ke bengkel
terdekat. *ish, jadi rada-rada emosi curhat begini saking terlukanya gak
dibantuin. hhahaha*
Bengkel terdekat
ternyata memang dekat lho. Hanya ±20 meter dari rumah. Alhamdulillah bisa
segera beres, pikirku, sampai kutemukan seorang tua renta yang tidak mengerti
bahasa Indonesia di depan bengkel itu. Saya tidak mengerti bahasa Makassar yang
diucapkan berbisik dan bergetar olehnya. Kode tangan melambai dan suara samar
yang terdengar seperti “a’lampai” dari mulut si bapak membuat saya mengerti
bahwa yang punya bengkel sedang pergi. Selanjutnya kode tangan diangkat dan
menunjuk ke arah kanan serta kata “anjoreng ko”, membuat saya melenguh nafas
panjang lalu menuntun motor pergi ke arah tangannya menunjuk.
Saya
lanjut menuntut motor ke bengkel terdekat yang lumayan jauh. Karena berat dan
lelah, kukendarai saja motor dengan ban belakang yang bocor itu. Setelah
menempuh jarak ±200 meter, saya menemukan gubuk di tepi jalan. Bentuknya
persegi tanpa dinding, pancang-pancang bambu di beberapa sisi, dan beratap daun
rumbia. Kulihat bensin literan dalam botol bersusun di depannya jadi kukira
tempat itu adalah bengkel. Saya pun menghentikan motor di sana.
Lagi-lagi
yang kutemukan seorang renta yang duduk di bale-bale di balik meja. Tempat ini
lebih mirip ga’de-ga’de (warung) dengan kue dalam kotak dan dan beberapa macam
kopi sachet, susu, kacang goreng, dan kerupuk udang yang tergantung di atas
meja. Ragu-ragu kukatakan ban saya bocor dan perlu ditambal. Hal baiknya
adalah, kakek itu bisa sedikit berbahasa Indonesia.
“Bisa ditambal,
tapi orangnya belum datang,” seperti itulah kira-kira yang dia katakan, namun
dalam bahasa daerah Makassar. “Tapi di sana ada bengkel, ke sana saja,”
lanjutnya sambil menunjuk ke arah kiri.
“Saya sudah dari
sana, terus disuruh ke sini. Kira-kira datangnya jam berapa, Pak? Masih lama?
Saya tunggu saja di sini.”
“Lama. Kalau
begitu tunggu mki di sini. Tolong jaga ki dulu, kalau ada yang mau beli bensin
harganya lima ribu/botol,” kata pak tua berkopiah, berbaju batik dengan sarung
yang digulung sampai lutut itu. Sebelum kuiyakan, dia sudah mendorong sepedanya
ke tepi jalan. Kuamati dia mengayuh sepeda sampai tidak bisa kulihat lagi.
Entah ke mana dia.
Belum
sampai setengah jam, pak tua datang. Selama dia pergi tidak ada orang yang
membeli bensin. Dia datang dengan alat press ban dalam yang diikat di boncengan
sepedanya. Ya ampun, ternyata dia pergi minjam alat press ban supaya dia bisa menambal
ban motor saya. Awalnya saya sangsi
dengan kemampuannya waktu lihat tangannya yang bergetar halus karena pengaruh
usia. Saat mencungkil ban luar motor jelas sekali dia kepayahan, tapi dia
berhasil. Selanjutnya dia menambal ban seperti profesional.
Kejutannya ada
di akhir. Selesai menambal dan mengembalikan ban ke posisi semula, waktunya
untuk mengisi angin ke ban. Sejak awal saya tidak melihat mesin compressor
untuk memompa ban di tempat itu. Jadi, apakah dia akan menggunakan tenaga supranatural
untuk mengembangkan ban? Oh, ternyata dia menggunankan pompa manual! Iya,
tabung panjang dengan tuas yang diberi per buat ditekan-tekan itu, yang ada
selang karet pendek di bawahya, pompa manual.
Luar biasa kakek
itu. Bersusah-susah demi menambal ban bocor. Saya siap kalau ongkosnya 20 ribu.
Tapi saat kutanya berapa biayanya,
“Lima ribu,”
jawabnya.
“Iye’?
Berapa Pak?” tanya saya sekali lagi, tidak yakin dengan pendengaranku.
“Lima
ribu,” ulangnya lagi sambil membuka telapak tangan ke depan dan menunjukkan
kelima jarinya.
Arrghh, keren
sekali kakek ini. Mengerjakan dengan baik yang bukan pekerjaannya, tidak
mengincar keuntungan dari kesusahan orang, and it’s touching me. Nilai-nilai
dan kebaikan sering ada di tempat tak terduga. Kali ini ada di gubuk atap
rumbia di tepi jalan depan persawahan. Mungkin nanti kutemukan di rumah
hartawan, atau bisa jadi di pinggir selokan.